Senin, 21 November 2011

Surat untuk Tulang Rusuk Yang Hilang

ღღ ANA UHIBUKKA LADZI AHBABTANI LAHUUღღ

"Allahumma baariklanaa di Rajab wa Sya'ban Wa Ballighna Ramadhan",Semoga Allah memberkahi kehidupan kita dibulan-bulan ini untuk berjumpa Ramadhan,Dengan segenap kesiapan ruhiyah, fikriyah,jasadiyah,maliyah dan satukan barisan raih takwa & sambut kemenangan dakwah, Intanshurullah yanshurkum wayutsabbit aqdamakum.

`*•Yaa Rabbi•*´¯)Ajarilah kami bagaimana memberi sebelum meminta,berfikir sebelum bertindak,santun dalam berbicara,tenang ketika gundah,diam ketika emosi melanda,bersabar dalam setiap ujian.Jadikanlah kami orang yg selembut Abu Bakar Ash-Shiddiq,sebijaksana Umar bin Khattab,sedermawan Utsman bin Affan,sepintar Ali bin Abi Thalib,sesederhana Bilal,setegar Khalid bin Walid radliallahu'anhumღAmiin ya Rabbal'alamin.

Ukhti..
Kau mungkin agak lelah dalam penantian, tapi yakinlah bahwa aku kan datang menjemputmu. Bukan bak pangeran berkuda putih yang gagah atau pun bak pujangga yang melamrmu dengan sejuta puisi. Ku akan menjemputmu dengan sebuah kesederhanaan untuk membawamu membangun cinta dalam naunganNya.

Ukhti..
Kau lah tulang rusukku yang hilang, maka bersabarlah sampai ku datang menyempurnakan dien kita. Kau lah bidadariku kelak, maka jagalah izzah mu sampai ku datang dengan gagah pada ke dua orang tuamu. Bukan untuk mengajakmu menyenangkan syetan dalam maksiat.

Ukhti..
Nantilah aku dengan penuh ketenangan. Tenangmu bukan berarti diam tanpa arti. Tenangmu bukan berarti hanya menunggu termenung. Namun tenangmu adalah doa dan tawakal kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ukhti.. Sabarlah dalam penantianmu. Ku tahu kau setegar Fatimah, secerdas Aisyah namun kau tak seberani Khadijah yang berani melamar Rasulullah Alaihi Wasallam lebih dulu. Tapi aku yakin, di balik ketidak beranianmu tersimpan sejuta arti untuk pangeranmu kelak.

Ukhti..
Jagalah Iffahmu sebelum ku jemput. Jagalah hijjabmu tuk senantiasa terperihara. Bukan untukku, tapi untuk dirimu sendiri. Tapi hati ini tak mampu menolak, kau begitu mempesona saat kau halal untukku kau di balut jilbab yang begitu indah.

Ukhti..
Dekatkanlah dirimu kepada Allah sebelum kau mendekat padaku nanti. Dia lah yang lebih tau yang terbaik untukmu,Dia lah yang mampu mendekatkan hati kita, Dia lah yang mampu membolak-balikkan kita. Maka senantiasalah serahkan hatimu untukNya.

Ukhti..
Kau lah bidadariku. Maka percantiklah dirimu dalam penantian dengan memperbaiki dirimu, dengan memperbanyak ilmu. Karna ku yakin dan kau pun yakin, wanita yang baik untuk laki-laki yang baik.

Yakinlah yaa ukhti fillah..Sang Sutradara kehidupan sedang memberikanmu jalan untuk menggapai Jannah-Nya. 

Wallahua’lam bi Shawwab

Selengkapnya Kunjungi Blog Kami SEHBhttp://andikaalbanjariiiyahoocom.blogspot.com/2011/07/kita-hanya-tau-apa-yang-kita.html

♥ SEMOGA BERMANFAAT ♥

Barakallaahu fiykum wa jazzakumullah khoir

(Sebelum Engkau Halal BagiKu)https://www.facebook.com/pages/Sebelum-Engkau-Halal-BagiKu/138509376220354

Jumat, 11 November 2011

JANGAN BENCI AKU,"MAMA"

Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan. Namun Sam mencegah niat buruk itu.

Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah. Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya.

Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak kejadian itu.

Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.

Sampai suatu malam. Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak. Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum ia berkata, “Tante, Tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada Mommy!” Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya, “Tunggu…, sepertinya saya mengenalmu.

Siapa namamu anak manis?”
“Nama saya Elic, Tante.”
“Eric? Eric… Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric?”

Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu.Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati…, mati…, mati… Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric…Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping.

“Mary, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu.” tTpi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak. ..

Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangissaya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric.. Eric… Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali… Tidak terlihat sesuatu apa pun! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah.

Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama… Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya. .. Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, saya pun keluar dari ruangan itu… Air mata saya mengalir
dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.

“Heii…! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!”
Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, “Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?” Ia menjawab, “Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, ‘Mommy…, mommy!’ Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu…”

Saya pun membaca tulisan di kertas itu…
“Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi…?
Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom…” Saya menjerit histeris membaca surat itu.
“Bu, tolong katakan… katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!”
Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.

“Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana … Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini… Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana .
Nyonya,dosa anda tidak terampuni!”

Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi. (kisah nyata di irlandia utara)

Buat yang merasakan cerita motivasi ini bermanfaat, menginspirasi dan memotivasi, silahkan bagikan juga cerita ini pada sahabat, rekan, teman pemirsa.

Kamis, 10 November 2011

KISAH KASIH TULUS SI BOCAH POLOS

KISAH KASIH TULUS SI BOCAH POLOS

Banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran, namun pelajaran hidup dari mereka yang melakukannya tanpa niat memberi teladan akan sangat mengena. Pelajaran itu datang dari anak-anak yang masih polos, di antaranya sebagai berikut.

Zhang Da harus menanggung beban hidup yang berat ketika usianya masih sangat belia. Tahun 2001, ketika usianya menjelang 10 tahun, Zhang Da harus menerima kenyataan ibunya lari dari rumah. Sang ibu kabur karena tak tahan dengan kemiskinan yang mendera keluarganya. Yang lebih tragis, si ibu pergi karena merasa tak sanggup lagi mengurus suaminya yang lumpuh, tak berdaya, dan tanpa harta. Dan ia tak mau menafkahi keluarganya.


Maka Zhang Da yang tinggal berdua dengan ayahnya yang lumpuh, harus mengambil-alih semua pekerjaan keluarga. Ia harus mengurus ayahnya, mencari nafkah, mencari makanan, memasaknya, memandikan sang ayah, mencuci pakaian, mengobatinya, dan sebagainya.


Yang patut dihargai, ia tak mau putus sekolah. Setelah mengurus ayahnya, ia pergi ke sekolah berjalan kaki melewati hutan kecil dengan mengikuti jalan menuju tempatnya mencari ilmu. Selama dalam perjalanan, ia memakan apa saja yang bisa mengenyangkan perutnya, mulai dari memakan rumput, dedaunan, dan jamur-jamur untuk berhemat. Tak semua bisa jadi bahan makanannya, ia menyeleksinya berdasarkan pengalaman. Ketika satu tumbuhan merasa tak cocok dengan lidahnya, ia tinggalkan dan beralih ke tanaman berikut. Sangat beruntung karena ia tak memakan dedaunan atau jamur yang beracun.

Usai sekolah, agar dirinya bisa membeli makanan dan obat untuk sang ayah, Zhang Da bekerja sebagai tukang batu. Ia membawa keranjang di punggung dan pergi menjadi pemecah batu. Upahnya ia gunakan untuk membeli aneka kebutuhan seperti obat-obatan untuk ayahnya, bahan makanan untuk berdua, dan sejumlah buku untuk ia pejalari.


Zhang Da ternyata cerdas. Ia tahu ayahnya tak hanya membutuhkan obat yang harus diminum, tetapi diperlukan obat yang harus disuntikkan. Karena tak mampu membawa sang ayah ke dokter atau ke klinik terdekat, Zhang Da justru mempelajari bagaimana cara menyuntik. Ia beli bukunya untuk ia pelajari caranya. Setelah bisa ia membeli jarum suntik dan obatnya lalu menyuntikkannya secara rutin pada sang ayah.


Kegiatan merawat ayahnya terus dijalaninya hingga sampai lima tahun. Rupanya kegigihan Zhang Da yang tinggal di Nanjing, Provinsi Zhejiang, menarik pemerintahan setempat. Pada Januari 2006 pemerintah China menyelenggarakan penghargaan nasional pada tokoh-tokoh inspiratif nasional. Dari 10 nama pemenang, satu di antaranya terselip nama Zhang Da. Ternyata ia menjadi pemenang termuda.


Acara pengukuhan dilakukan melalui siaran langsung televisi secara nasional. Zhang Da si pemenang diminta tampil ke depan panggung. Seorang pemandu acara menanyakan kenapa ia mau berkorban seperti itu padahal dirinya masih anak-anak. "Hidup harus terus berjalan. Tidak boleh menyerah, tidak boleh melakukan kejahatan. Harus menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab," katanya.


Setelah itu suara gemuruh penonton memberinya applaus. Pembawa acara menanyainya lagi. "Zhang Da, sebut saja apa yang kamu mau, sekolah di mana, dan apa yang kamu inginkan. Berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah dan mau kuliah di mana. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebutkan saja. Di sini ada banyak pejabat, pengusaha, dan orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!" papar pembawa acara.


Zhang Da terdiam. Keheningan pun menunggu ucapannya. Pembawa acara harus mengingatkannya lagi. "Sebut saja!" katanya menegaskan.


Zhang Da yang saat itu sudah berusaha 15 tahun pun mulai membuka mulutnya dengan bergetar. Semua hadirin di ruangan itu, dan juga jutaan orang yang menyaksikannya langsung melalui televisi, terdiam menunggu apa keinginan Zhang Da. "Saya mau mama kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu papa, aku bisa cari makan sendiri. Mama kembalilah!" kata Zhang Da yang disambut tetesan air mata haru para penonton.


Zhang Da tak meminta hadiah uang atau materi atas ketulusannya berbakti kepada orangtuanya. Padahal saat itu semua yang hadir bisa membantu mewujudkannya. Di mata Zhang Da, mungkin materi bisa dicari sesuai dengan kebutuhannya, tetapi seorang ibu dan kasih sayangnya, itu tak ternilai. Pelajaran moral yang tampak sederhana, tetapi amat bermakna. Setuju kan?


Catatan: Cerita inspiratif ini bisa dibaca secara lengkap di majalah motivasi pertama Indonesia, majalah LuarBiasa edisi Juli 2011. Keterangan lengkap mengenai majalah ini, klik www.majalahluarbiasa.com atau hubungi (021) 6339523 pada hari dan jam kerja. Kami juga menerima sumbangan cerita inspirasi di contact@andriewongso.com

Minggu, 28 Agustus 2011

BUKAN SOPIR BIASA


Sopir mobil barang di UD (usaha dagang) milik bapak baru ganti sebulan ini. Bapak memang sengaja memberi tahu orang rumah bila ada orang baru di “UD’-nya. Bukan apa-apa, sebab barang dagangan kadang transit di rumah dulu untuk dicek sebelum dibawa ke gudang. Aku, kakak atau ibu bergantian mengecek barang bila tak sibuk.
Dulu pernah kejadian ada orang mengaku sopir baru, pada akhirnya melarikan mobil bapak. Sejak itu, bapak mewajibkan orang rumah tahu semua karyawan bapak.
Waktu berjalan, genap sebulan sopir baru bapak bekerja. Masih muda, santun
tak banyak bicara. Hampir setiap saat bapak memujinya.Yang baiklah, yang pinterlah
yang serba bisalah, heran aku dibuatnya. Pada anak-anak sendiri, nyaris bapak tak pernah memuji. Benarkah pujian itu? Diam-diam kuamati sopir muda itu.  Datang lebih cepat atau lepas Zhuhur itu jadwal kerjanya. Kata bapak, hal itu sudah diizinkannya. Tiap masuk gerbang, tak pernah lupa mengucap salam. Bila tak ada bapak, ia sama sekali tak nau masuk rumah, memilih menunggu di depan pintu meski sudah ibu persilakan. Bila bicara dengan ibu ia lebih hanyak menunduk, sedikit senyum tapi nada bicaranya tetap
terdengar ramah dan santun. O… pantas saja bapak suka padanya.
Yang lebih mengherankan, sekarang kalau keluar kotauntuk urusan pribadi sekalipun, bapak sering mengajaknya. Padahal selama ini, bapak biasa nyopir sendiri. Bila bapak tak
sempat mengantar ibu belanja, bapak pun mempercayakan hal itu padanya. Ada lagi yang
berubah pada bapak, kaset keroncong dan langgam jawa sudah tak lagi terdengar di
rumah atau di tape mobil. Gantinya?! Kaset muratal dan ceramah-ceramah agama. Entah
kenapa aku tak pernah tapi bertanya meski aku penasaran. Nonton TV paling saat berita, padahal bapak penggemar sinetron. Nama artis-artis pun bapak hafal….
Sore itu, aku pulang dari kantor tempatku bekerja. Tak ada yang aneh dengan bapak dan ibu, karena seperti biasa mereka berdua selalu duduk di beranda menunggu aku dan kakakku pulang. Tapi kulihat senyum mereka tak seperti biasanya. Benar saja, usai makan malam, bapak membuka pembicaraan yang tak pernah kuduga sebelumnya.
’’Berapa usia kamu sekarang?’ Ah, bapak pakai tanya umurku.
“Hampir 26 tahun. Kenapa Pak?”
“Belum ingin menikah? Keburujadi perawan tua lho nanti…”
Makanan jadi sulit kutelan. Sejak kapan bapak ingin anaknya cepat-cepat kawin? Buktinya 2 kakak perempuanku menikah saat usia mereka kepala 3. Malah masih kuingat kata bapak, usia kepala 3 baru matang dan siap menikah. Kok sekarang berubah?!
Jujur aku dan kakak-kakakku tumbuh dalam pendidikan sekuler dan menikah di usia berapa pun tak pernah jadi soal. Karir di mata keluarga kami begitu penting. Tapi, sekarang bapak tiba-tiba bicara pernikahan juga agama.
Dan satu hal yang baru kusadari sekarang, tentang ibuku… Ibuku adalah wanita modern tulen. Salon, berdandan dan segala trendsetter fashion tak pernah ketinggalan diikutinya. Sekarang? Mana kutek di kukunya? Mana kuku panjangnya? Mana make up-nya? Tak terlihat sama sekali. Tapi diam-diam kupuji dalam hati, wajah ibu terlihat lebih ‘ringan’ dan segar tanpa make up.

“Kau mau nanti bapak carikan. Atau barang kali kamu sudah punya calon sendiri?”
Makanan makin terasa sulit kutelan. Pacar?  Aku memang pernah naksir beberapa pria, tapi tak pernah sampai pacaran.
“Siapa calon Fa, Pak?” Mas Dodi tiba-tiba menyela.
“Sopir bapak…” ucap bapak tanpa dosa. Mas Dodi tertawa. Aku terperanjat berdiri, setengah melotot, tak percaya.
“Tuh… Pak, apa aku bilang. Bapak ngga’ percaya sih. Belum-belum Fa aja sudah melotot,gimana mau nerima?!” Ternyata mas Dodi sudah tahu rencana bapak.
Kutinggalkan meja makan dengan rasa hancur dan terhina. Masa’ bapak tega menikahkanku dengan sopir? Apa kata dunia?! Calon S2 kok cuma dapat sopir…?! Aku menangis di kamar, membayangkan semua mimpi buruk itu.
Ibu dan bapak menyusul ke kamar. Menjelaskan semuanya juga soal siapa “mimpi burukku” itu. Aku jadi malu juga setengah tak percaya pada cerita bapak. Aku diberi ke sempatan untuk berpikir sepekan. Hanya sepekan. Kata bapak untuk kebaikan semua dan sebelum kesempatan itu hilang. “Shalat Istikharah, Fa. Biar kamu yakin!” pesan ibu.
Tak sampai sepekan, tepatnya 3 hari sebelum batas waktu, aku memberi jawaban “ya” pada bapak, tanpa keraguan sedikit pun. Bapak memelukku, ibu pun menangis. Kulirik mas Dodi mukanya memerah.
Sopir bapak memang bukan sopir biasa. Ia lulusan sarjana teknik dan tengah menyelesaikan gelar pasca sarjananya, kala itu atas beasiswa. Kerja sebagai sopir di tempat bapak untuk menutup biaya hidup selama kuliah, juga untuk biaya keluarganya. Ia memang yatim. Praktis sebagai satu-satunya lelaki di rumah, ia menggantikan fungsi kepala rumah tangga. Hal itu baru kutahu saat hendak menikah.
Sepekan kemudian, aku menikah dengan sopir bapak. Dua pekan usai menikah, aku diboyong suami terbang ke negeri Sakura. Suami menjalani kontrak kerja di sana. Kini kami sudah dikarunia tiga buah hati. Dua lahir di negeri seberang, seorang di Indonesia. Beberapa bulan lagi kontrak suami akan habis, bila tak diperpanjang dan tak ada aral melintang, insya Allah kami akan kembali ke tanah air. (***)
NB: Jazakillah khair untuk dik Anna, Insya Allah ketemu lagi di tanah air.
Diketik ulang oleh akhanggas dari Majalah nikah sakinah Volume 10 no 5 untukhttp://enkripsi.wordpress.com

Jumat, 26 Agustus 2011

MENJUAL KEPERAWANAN


Wanita itu berjalan agak ragu memasuki hotel berbintang lima. Sang petugas satpam yang berdiri di samping pintu hotel menangkap kecurigaan pada wanita itu. Tapi dia hanya memandang saja dengan awas ke arah langkah wanita itu yang kemudian mengambil tempat duduk di lounge yang agak di pojok.

Petugas satpam itu memperhatikan sekian lama, ada sesuatu yang harus dicurigainya terhadap wanita itu. Karena dua kali waiter mendatanginya tapi, wanita itu hanya menggelengkan kepala. Mejanya masih kosong. Tak ada yang dipesan. Lantas untuk apa wanita itu duduk seorang diri. Adakah seseorang yang sedang ditunggunya.

Petugas satpam itu mulai berpikir bahwa wanita itu bukanlah tipe wanita nakal yang biasa mencari mangsa di hotel ini. Usianya nampak belum terlalu dewasa. Tapi tak bisa dibilang anak-anak. Sekitar usia remaja yang tengah beranjak dewasa.

Setelah sekian lama, akhirnya memaksa petugas satpam itu untuk mendekati meja wanita itu dan bertanya:


'' Maaf, nona ... Apakah anda sedang menunggu seseorang?
'' Tidak! '' Jawab wanita itu sambil mengalihkan wajahnya ke tempat lain.


'' Lantas untuk apa anda duduk disini?
'' Apakah tidak boleh? '' Wanita itu mulai memandang ke arah sang petugas satpam.


'' Maaf, Nona. Ini tempat berkelas dan hanya diperuntukan bagi orang yang ingin menikmati layanan kami.''
'' Maksud, bapak?

'' Anda harus memesan sesuatu untuk bisa duduk disini ''
'' Nanti saya akan pesan setelah saya ada uang.
Tapi sekarang, izinkanlah saya duduk disini untuk sesuatu yang akan saya jual '' Kata wanita itu dengan suara lambat.

'' Jual? Apakah anda menjual sesuatu disini? ''

Petugas satpam itu memperhatikan wanita itu. Tak nampak ada barang yang akan dijual. Mungkin wanita ini adalah pramuniaga yang hanya membawa brosur.

'' Ok, lah. Apapun yang akan anda jual, ini bukanlah tempat untuk berjualan. Mohon mengerti. ''
'' Saya ingin menjual diri saya, '' Kata wanita itu dengan tegas sambil menatap dalam dalam ke arah petugas satpam itu.

Petugas satpam itu terkesima sambil melihat ke kiri dan ke kanan.
'' Mari ikut saya, '' Kata petugas satpam itu memberikan isyarat dengan tangannya.

Wanita itu menangkap sesuatu tindakan kooperativ karena ada secuil senyum di wajah petugas satpam itu. Tanpa ragu wanita itu melangkah mengikuti petugas satpam itu.

Di koridor hotel itu terdapat korsi yang hanya untuk satu orang. Di sebelahnya ada telepon antar ruangan yang tersedia khusus bagi pengunjung yang ingin menghubungi penghuni kamar di hotel ini. Di tempat inilah deal berlangsung.

'' Apakah anda serius? ''
'' Saya serius '' Jawab wanita itu tegas.  
'' Berapa tarif yang anda minta? ''
'' Setinggi tingginya..''

'' Mengapa? Petugas satpam itu terkejut sambil menatap wanita itu.
'' Saya masih perawan ''
'' Perawan? '' Sekarang petugas satpam itu benar benar terperanjat. Tapi wajahnya berseri. Peluang emas untuk mendapatkan rezeki berlebih hari ini. Pikirnya

'' Bagaimana saya tahu anda masih perawan?''
'' Gampang sekali. Semua pria dewasa tahu membedakan mana perawan dan mana bukan. Ya kan...''
'' Kalau tidak terbukti?
'' Tidak usah bayar ...''

'' Baiklah ...'' Petugas satpam itu menghela napas. Kemudian melirik ke kiri dan ke kanan.
'' Saya akan membantu mendapatkan pria kaya yang ingin membeli keperawanan anda. ''
'' Cobalah. ''

'' Berapa tarif yang diminta? ''
'' Setinggi tingginya. ''
'' Berapa? ''
'' Setinggi tingginya. Saya tidak tahu berapa? ''

'' Baiklah. Saya akan tawarkan kepada tamu hotel ini. Tunggu sebentar ya. ''

Petugas satpam itu berlalu dari hadapan wanita itu.

Tak berapa lama kemudian, petugas satpam itu datang lagi dengan wajah cerah.

'' Saya sudah dapatkan seorang penawar. Dia minta 5 juta Rupiah. Bagaimana? ''

'' Tidak adakah yang lebih tinggi? ''
'' Ini termasuk yang tertinggi, '' Petugas satpam itu mencoba meyakinkan.
'' Saya ingin yang lebih tinggi...''
'' Baiklah. Tunggu disini ...'' Petugas satpam itu berlalu.

Tak berapa lama petugas satpam itu datang lagi dengan wajah lebih berseri.

'' Saya dapatkan harga yang lebih tinggi. 6 juta Rupiah. Bagaimana? ''

'' Tidak adakah yang lebih tinggi? ''
'' Nona, ini harga sangat pantas untuk anda. Cobalah bayangkan, bila anda diperkosa oleh pria, anda tidak akan mendapatkan apa apa. Atau andai perawan anda diambil oleh pacar anda, anda pun tidak akan mendapatkan apa apa, kecuali janji. Dengan uang 6 juta Rupiah anda akan menikmati layanan hotel berbintang untuk semalam dan keesokan paginya anda bisa melupakan semuanya dengan membawa uang banyak. Dan lagi, anda juga telah berbuat baik terhadap saya. Karena saya akan mendapatkan komisi dari transaksi ini dari tamu hotel. Adilkan. Kita sama sama butuh ... ''

'' Saya ingin tawaran tertinggi ... '' Jawab wanita itu, tanpa peduli dengan celoteh petugas satpam itu.

Petugas satpam itu terdiam. Namun tidak kehilangan semangat.


'' Baiklah, saya akan carikan tamu lainnya.
Tapi sebaiknya anda ikut saya.
Tolong kancing baju anda disingkapkan sedikit.
Agar ada sesuatu yang memancing mata orang untuk membeli. '' Kata petugas satpam itu dengan agak kesal.

Wanita itu tak peduli dengan saran petugas satpam itu, tapi tetap mengikuti langkah petugas satpam itu memasuki lift.

Pintu kamar hotel itu terbuka. Dari dalam tampak pria bermata sipit agak berumur tersenyum menatap mereka berdua.

'' Ini yang saya maksud, tuan. Apakah tuan berminat? " Kata petugas satpam itu dengan sopan.

Pria bermata sipit itu menatap dengan seksama ke sekujur tubuh wanita itu ...

'' Berapa? '' Tanya pria itu kepada Wanita itu.
'' Setinggi tingginya '' Jawab wanita itu dengan tegas.
'' Berapa harga tertinggi yang sudah ditawar orang? '' Kata pria itu kepada sang petugas satpam.

'' 6 juta Rupiah, tuan ''
'' Kalau begitu saya berani dengan harga 7 juta Rupiah untuk semalam. ''

Wanita itu terdiam.

Petugas satpam itu memandang ke arah wanita itu dan berharap ada jawaban bagus dari wanita itu.

'' Bagaimana? '' tanya pria itu.
''Saya ingin lebih tinggi lagi ...'' Kata wanita itu.

Petugas satpam itu tersenyum kecut.

'' Bawa pergi wanita ini. '' Kata pria itu kepada petugas satpam sambil menutup pintu kamar dengan keras.


'' Nona, anda telah membuat saya kesal. Apakah anda benar benar ingin menjual? ''
'' Tentu! ''
'' Kalau begitu mengapa anda menolak harga tertinggi itu ... ''
'' Saya minta yang lebih tinggi lagi ...''

Petugas satpam itu menghela napas panjang. Seakan menahan emosi. Dia pun tak ingin kesempatan ini hilang.

Dicobanya untuk tetap membuat wanita itu merasa nyaman bersamanya.

'' Kalau begitu, kamu tunggu di tempat tadi saja, ya. Saya akan mencoba mencari penawar yang lainnya. ''

Di lobi hotel, petugas satpam itu berusaha memandang satu per satu pria yang ada. Berusaha mencari langganan yang biasa memesan wanita melaluinya. Sudah sekian lama, tak ada yang tampak dikenalnya. Namun, tak begitu jauh dari hadapannya ada seorang pria yang sedang berbicara lewat telepon genggamnya.

'' Bukankah kemarin saya sudah kasih kamu uang 25 juta Rupiah.
Apakah itu tidak cukup? Terdengar suara pria itu berbicara. Wajah pria itu nampak masam seketika


'' Datanglah kemari. Saya tunggu. Saya kangen kamu.
Kan sudah seminggu lebih kita engga ketemu, ya sayang?! ''

Kini petugas satpam itu tahu, bahwa pria itu sedang berbicara dengan wanita.
Kemudian, dilihatnya, pria itu menutup teleponnya. Ada kekesalan diwajah pria itu.

Dengan tenang, petugas satpam itu berkata kepada Pria itu: '' Pak, apakah anda butuh wanita ... ??? ''

Pria itu menatap sekilas ke arah petugas satpam dan kemudian memalingkan wajahnya.

'' Ada wanita yang duduk disana, '' Petugas satpam itu menujuk ke arah wanita tadi.

Petugas satpam itu tak kehilangan akal untuk memanfaatkan peluang ini. '' Dia masih perawan..''

Pria itu mendekati petugas satpam itu.
Wajah mereka hanya berjarak setengah meter.  
'' Benarkah itu? ''
'' Benar, pak. ''
'' Kalau begitu kenalkan saya dengan wanita itu ... ''
'' Dengan senang hati. Tapi, pak ...Wanita itu minta harga setinggi tingginya.''
'' Saya tidak peduli ... '' Pria itu menjawab dengan tegas.

Pria itu menyalami hangat wanita itu.
'' Bapak ini siap membayar berapapun yang kamu minta. Nah, sekarang seriuslah ...''Kata petugas satpam itu dengan nada kesal.

'' Mari kita bicara di kamar saja.'' Kata pria itu sambil menyisipkan uang kepada petugas satpam itu.

Wanita itu mengikuti pria itu menuju kamarnya.

Di dalam kamar ...


'' Beritahu berapa harga yang kamu minta? ''
'' Seharga untuk kesembuhan ibu saya dari penyakit ''
'' Maksud kamu? ''
'' Saya ingin menjual satu satunya harta dan kehormatan saya untuk kesembuhan ibu saya. Itulah cara saya berterimakasih .... ''
'' Hanya itu ...''
'' Ya ...! ''

Pria itu memperhatikan wajah wanita itu. Nampak terlalu muda untuk menjual kehormatannya. Wanita ini tidak menjual cintanya. Tidak pula menjual penderitaannya. Tidak! Dia hanya ingin tampil sebagai petarung gagah berani di tengah kehidupan sosial yang tak lagi gratis. Pria ini sadar, bahwa di hadapannya ada sesuatu kehormatan yang tak ternilai. Melebihi dari kehormatan sebuah perawan bagi wanita. Yaitu keteguhan untuk sebuah pengorbanan tanpa ada rasa sesal. Wanta ini tidak melawan gelombang laut melainkan ikut kemana gelombang membawa dia pergi. Ada kepasrahan diatas keyakinan tak tertandingi. Bahwa kehormatan akan selalu bernilai dan dibeli oleh orang terhormat pula dengan cara-cara terhormat.

'' Siapa nama kamu? ''
'' Itu tidak penting. Sebutkanlah harga yang bisa bapak bayar ... '' Kata wanita itu  
'' Saya tak bisa menyebutkan harganya. Karena kamu bukanlah sesuatu yang pantas ditawar. ''
''Kalau begitu, tidak ada kesepakatan! ''

'' Ada! Kata pria itu seketika.

'' Sebutkan! ''
'' Saya membayar keberanianmu. Itulah yang dapat saya beli dari kamu.
Terimalah uang ini. Jumlahnya lebih dari cukup untuk membawa ibumu ke rumahsakit.
Dan sekarang pulanglah ... '' Kata pria itu sambil menyerahkan uang dari dalam tas kerjanya.

'' Saya tidak mengerti ...''
'' Selama ini saya selalu memanjakan istri simpanan saya.
Dia menikmati semua pemberian saya tapi dia tak pernah berterimakasih.
Selalu memeras. Sekali saya memberi maka selamanya dia selalu meminta.
Tapi hari ini, saya bisa membeli rasa terimakasih dari seorang wanita yang gagah berani untuk berkorban bagi orangtuanya.
Ini suatu kehormatan yang tak ada nilainya bila saya bisa membayar ...''

'' Dan, apakah bapak ikhlas...? ''
'' Apakah uang itu kurang? ''
'' Lebih dari cukup, pak ... ''

'' Sebelum kamu pergi, boleh saya bertanya satu hal? ''
'' Silahkan ...''

'' Mengapa kamu begitu beraninya ... ''

'' Siapa bilang saya berani.
Saya takut pak ...
Tapi lebih dari seminggu saya berupaya mendapatkan cara untuk membawa ibu saya ke rumahsakit dan semuanya gagal.
Ketika saya mengambil keputusan untuk menjual kehormatan saya maka itu bukanlah karena dorongan nafsu.
Bukan pula pertimbangan akal saya yang `bodoh` ...
Saya hanya bersikap dan berbuat untuk sebuah keyakinan ... ''

'' Keyakinan apa? ''

'' Jika kita ikhlas berkorban untuk ibu atau siapa saja, maka Allah lah yang akan menjaga kehormatan kita ... ''
 Wanita itu kemudian melangkah keluar kamar.

Sebelum sampai di pintu wanita itu berkata:
'' Lantas apa yang bapak dapat dari membeli ini ... ''
'' Kesadaran...''

. . .

Di sebuah rumah di pemukiman kumuh.

Seorang ibu yang sedang terbaring sakit dikejutkan oleh dekapan hangat anaknya.

'' Kamu sudah pulang, nak ''
'' Ya, bu ... ''
'' Kemana saja kamu, nak ... ???''
'' Menjual sesuatu, bu ... ''

'' Apa yang kamu jual?'' Ibu itu menampakkan wajah keheranan. Tapi wanita muda itu hanya tersenyum ...

Hidup sebagai yatim lagi miskin terlalu sia-sia untuk diratapi di tengah kehidupan yang serba pongah ini. Di tengah situasi yang tak ada lagi yang gratis. Semua orang berdagang. Membeli dan menjual adalah keseharian yang tak bisa dielakan. Tapi Allah selalu memberi tanpa pamrih, tanpa perhitungan ...

'' Kini saatnya ibu untuk berobat ... ''
Digendongnya ibunya dari pembaringan, sambil berkata: '' Allah telah membeli yang saya jual ... ''.

Taksi yang tadi ditumpanginya dari hotel masih setia menunggu di depan rumahnya. Dimasukannya ibunya kedalam taksi dengan hati-hati dan berkata kepada supir taksi: '' Antar kami ke rumahsakit ...''

. . .




Rabu, 24 Agustus 2011

MUNGKIN KITA BELUM DEWASA


amalhikmah.com

Kok belum datang juga, ya? Saya yakin, pertanyaan itu banyak melingkupi para akhwat yang resah menanti jodoh.
Kenapa saya hanya menyebut para akhwat? Jelas.
Karena dalam masyarakat kita masih ada pandangan bahwa akhwat hanya boleh menunggu dan ikhwan lah yang memulai.
Jadi, kalau ikhwan merasa sudah siap untuk menikahatau sudah menemukan pasangan hidup yang diinginkannya, ia tinggal mengajukan proposal. Hasilnya bagaimana, itu tergantung nanti. Yang penting kan akhwatnya sudah tahu kalau ada ikhwan yang mau serius dengannya. Bagaimana dengan akhwat? Memang ada yang bilang kalau akhwat pun boleh mengajukan proposal duluan, tapi adakah akhwat berani yang mau? Mungkin ada, tapi hanya satu dalam seribu. Sangat jarang lah akhwat yang mau mengajukan proposal duluan. Harga diri, tentu menjadi pertimbangan. Karena memang sangatjarang akhwat yang seperti Khadijah, bukan?Kita lupakan saja soal itu. Sekarang yang menjadi soal adalah kenapa jodoh belum datang juga? Sewaktu saya masih di daerah dulu (di luar Jakarta), pikiran saya memang sangat naif.

Saya pikir, seorang akhwat yang sudah lulus kuliah pasti akan langsung dilamar. Kenyataannya memang begitu. Banyak teman-teman dekat saya yang baru saja diwisuda sibuk mempertimbangkan lamaran yang datang. Ternyata tidak juga. Begitu saya kembali ke Jakarta, alangkah terkejutnya saya menemukan banyak akhwat yang sudah lama lulus dari kuliah, sudah bekerja dan sudah sangat siap menikah (dilihat dari umur) ternyata masih melajang. Tidak tanggung-tanggung usia mereka berkisar 28-30 tahun ke atas. Fenomena macam apa ini? Kalau di daerah, tentu saya akan sulit menemukan akhwat berusia di atas 28 masih melajang. Saya juga tidak tahu kenapa.Ada teman saya yang bilang bahwa Allah akan memberikan kita jodoh kalau Dia menilai kita sudah dewasa. Saya tidak tahu teman saya itu mendapatkan sumber dari mana. Tapi ada benarnya juga. Saya bertanya kepadanya, definisi dewasa yang seperti apa? Teman saya mengedikkan bahu. Ia juga tidak tahu. Hanya Allah yang tahu. Pokoknya kalau Allah menganggap kita sudah dewasa, dia akan mempertemukan kita dengan jodoh kita. Begitu.

Hmm, lalu saya mengamati seorang akhwat yang saya lihat sangat dewasa. Dia kalem, lembut dan sabar menghadapi binaan. Sepertinya dia sangat-sangat dewasa. Tapi kok dia belum menikah juga ya? Padahal dia sudah sekitar lima tahunan lulus dari kuliah. Lalu, apa yang kurang darinya? Lagi-lagi hanya Allah yang tahu.Sekitar setahun kemudian baru saya tahu jawabnya. Akhwat itu akhirnya menikah, tapi pernikahannya ini sempat membuat kawan terdekatnya geleng-geleng kepala. Biasanya orang yang mau menikah itu (apalagi akhwat) dipusingkan oleh, apakah saya bisa menjadi istri yang baik? Apakah saya bisa patuh kepada suami? Apakah saya bisa menyenangkan suami? Apakah saya bisa menyelesaikan konflik dalam rumah tangga? Dan lain-lain. Tapi akhwat ini berbeda. Ia malah memusingkan segala pernak-pernik pernikahan yang harus berwarna biru, karena biru adalah warna kesukaannya. Saya jadi berpikir. Mungkin benar Allah baru memberinya jodoh sekarang. Lima tahun lalu, mungkin dia malah lebih tidak dewasa seperti sekarang. Allahu a’lam.

Satu contoh lain yang kembali membuat saya berpikir. Kali ini tentang seorang ikhwan yang sudah berumur di atas 30. Sudah seharusnya ia segera menikah, bukan? Dan biasanya orang yang sudah berusia di atas 30 tahun itu pemikirannya lebih matang sehingga tidak terlalu memikirkan hal-hal yang sepele dalam memilih calon pendamping. Tetapi ikhwan ini masih menyebutkan satu syarat sepeleyang harus dipenuhi akhwat yang akan menjadi pendamping hidupnya. Akhwat itu harus berkulit putih! Berkulit putih? Tidak salah memang. Tapi apakah hanya akhwat yang berkulit putih saja yang cantik? Akhwat berkulit hitam pun banyak yang cantik. Dan jangan salah. Artis India itu kebanyakan berkulit hitam manis, Bung! So what?Coba tanyakan kepada adik/keponakan/ siapa saja yang masih ABG di sekitar Anda. Seperti apa pacar yang diinginkannya? Mereka pasti akan menjawab: cakep (cantik), kaya, beken, pinter dan semua hal-hal duniawi lainnya.Bandingkan dengan Anda. Apakah Anda masih memakai standar itu dalam memilih pendamping? Berarti pikiran Anda masih seperti adik/keponakan/ orang-orang yang ada di sekitar Anda yang masih ABG, bukan? Memang tidak salahnya kita memilih pendamping hidup seperti standar di atas. Agama baik, tapi status, fisik dan keturunan juga harus baik, dong. But, kita juga harus menilai diri kita sendiri. Intinya: berpijak pada realita lah! Apakah kita memang secantik Aisyah sehingga kita berhak mendapatkan Muhammad? Kalau iya, okeylah. Kalau tidak? Maka kita hanya seperti anak-anak belasan tahun yang hidup di dunia mimpi. Kembalilah kepada niat: untuk apa kita menikah. Itu saja.Akhirnya, saya jadi tahu kenapa ikhwah (akhwat-ikhwan) di daerah lebih cepat menikah daripada di Jakarta. Karena memang ikhwah di daerah tidak begitu pemilih.

Berkali-kali saya dihentakkan dengan berita seorang ikhwan yang melamar seorang akhwat yang berusia empat sampai lima tahun di atasnya. Padahal masih banyak akhwat yang lebih muda dan lebih cantik yang bisa ia pilih. Atau seorang akhwat yang rela menikah dengan seorang ikhwan yang belum berpenghasilan tetap. Pada akhirnya Allah jua yang mempermudah jalan mereka. Setelah menikah, bertubi-tubi tawaran bekerja datang kepada ikhwan yang telah menjadi suaminya itu.Subhanallah!Apa yang saya sebutkan di atas hanyalah contoh kasus. Saya yakin di Jakarta pun banyak ikhwah yang berpikir dewasa sehingga ia mudah mendapatkan pasangan hidup. Saya sudah menemukannya, tapi memang saya lebih banyak menemukan yang masih lajang pada usia diatas 25 tahun. Dan di daerah pun ada ikhwah yang belum juga menikah padahal usianya terus menanjak. Entah apakah karena ia belum dewasa atau karena hal lain. Tapi saya yakin, orang di daerah itu memang lebih dewasa karena pikiran mereka masih sederhana. Saya jadi ingin kembali ke daerah biar cepat dapat jodoh. Atau mungkin kita memang harus menjadi dewasa dulu agar cepat mendapatkan jodoh?
Bagikan